LOKASI WISATA ZIARAH " MAKAM KI AGENG TARUB ( JOKOTARUB ) " KURANG LEBIH 12 KM KE ARAH TIMUR DARI KOTA PURWODADI, TEPATNYA DI DESA TARUB, KECAMATAN TAWANGHARJO KABUPATEN GROBOGAN.

Minggu, 14 Agustus 2011

TABEL WARNA








































































































































































































Kode warna yang terpilih :


Get it

Jumat, 22 April 2011

Kerja Bakti

Jum'at 22 April 2011 Kanjeng H Andie Nagoro ( Jkt ) dan KRT. Astono Asipuro ( Juru Kunci Makam Ki Ageng Tarub ) melaksanakan kerja bakti di makam RM. Bondan Kejawan dan Makam Ki ageng Tarub, dimana Kanjeng H Andie Nagoro beserta yang lainnya merasa memiliki Leluhur yang Agung ini maka beliau beserta yang lainnya melaksanakan kerja bakti di Lokasi Makam Ki ageng Tarub.
Pengecatan di Makam RM. Bondan Kejawan





Selasa, 12 April 2011

Hakekat Ha Na Ca Ra Ka



HA = Hana hurip wening suci
(Adanya hidup adalah kehendak yang Maha Suci)

NA = Nur candra,gaib candra,warsitaning candara
(harapan manusia hanya selalu ke sinar Ilahi)

CA = Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi
(satu arah dan tujuan pada Yang Maha Tunggal)

RA = Rasaingsun handulusih
(rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani)

KA = Karsaningsun memayuhayuning bawana
(hasrat diarahkan untuk kesejahteraan alam)

DA = Dumadining dzat kang tanpa winangenan
(menerima hidup apa adanya)

TA = Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa
(mendasar ,totalitas, satu visi, ketelitian dalam memandang hidup)

SA = Sifat ingsun handulu sifatullah
(membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan)

WA = Wujud hana tan kena kinira
(ilmu manusia hanya terbatas namun bisa juga tanpa batas)

LA = Lir handaya paseban jati
(mengalirkan hidup semata pada tuntunan Ilahi)

PA = Papan kang tanpa kiblat
(Hakekat Allah yang ada di segala arah)

DhA = Dhuwur wekasane endek wiwitane
(Untuk bisa di atas tentu dimulai dari dasar)

JA = Jumbuhing kawula lan Gusti
(selalu berusaha menyatu -memahami kehendakNya)

YA = Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi
(yakin atas titah /kodrat Ilahi)

NYA = Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki
(memahami kodrat kehidupan)

MA = Madep mantep manembah mring Ilahi
(yakin - mantap dalam menyembah Ilahi)

GA = Guru sejati sing muruki
(belajar pada guru sejati)

BA = Bayu sejati kang andalani
(menyelaraskan diri pada gerak alam)

THA = Tukul saka niat
(sesuatu harus tumbuh dari niat)

NGA = Ngracut busananing manungso
(melepaskan egoisme pribadi-manusia)

Selasa, 05 April 2011

Jaka Tingkir

Bagian 2

Pangeran Trenggana setelah menduduki tampuk pemerintahan Demak Bintara lantas dikenal dengan gelar Sultan Trenggana. Dia memiliki beberapa orang putra-putri pula. Yang sulung bernama Pangeran Prawata, kelak terkenal dengan nama Sunan Prawata. Yang kedua seorang wanita, sangat masyhur keberaniannya. Mahir olah kanuragan, bernama Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat lantas dinikahkan dengan seorang Pangeran pelarian dari Pasai, bernama Raden Thoyyib. Raden Thoyyib adalah salah seorang putra Mughayat Syah, yang kelak mendirikan Kesultanan Aceh (1530 Masehi) dan menjabat sebagai Sultan Aceh pertama. Karena perselisihan dengan ayahnya, Raden Thoyyib meninggalkan Pasai menuju Champa. Di Champa, dia mengabdi di Kerajaan Champa dan berkenalan dengan Patih Kerajaan Champa Cwie-Wie-Hwan.

Karena perselisihan dengan Raja Champa pula, Raden Thoyyib meninggalkan Champa dan berlayar ke Jawa. Cwie-Wie-Hwan ikut serta. Di Jawa, Raden Thoyyib diterima mengabdi di Demak Bintara. Bahkan Raden Thoyyib akhirnya dinikahkan dengan Ratu Kalinyamat. Raden Thoyyib lantas mendapat nama baru, Pangeran Hadiri ( Kata 'HADIRI' berasal dari bahasa Arab yang berarti 'DATANG'. Pangeran Hadiri berarti Seorang Pangeran Yang Datang Dari Seberang : Damar Shashangka). Setelah menikah dengan Ratu Kalinyamat, Pangeran Hadiri terkenal dengan nama Sunan Kalinyamat. Cwie-Wie-Hwan lantas dikenal dengan nama Patih Sungging Bandhardhuwung. ( Makamnya masih ada didaerah Mantingan, Jepara, Jawa Tengah. Satu lokasi dengan makam Sunan Kalinyamat dan Ratu Kalinyamat : Damar Shashangka )


RATU KALINYAMAT

Ratu Kalinyamat sebelum menikah dengan Pangeran Hadiri atau Sunan Kalinyamat, dulu pernah ikut pula dalam armada Demak yang menyerang Malaka pada tahun 1513 Masehi. Walau seorang wanita, Ratu Kalinyamat tidak bisa dianggap remeh. Konon, Ratu Kalinyamat adalah inkarnasi dari Ratu Sima, Ratu wanita penguasa Kerajaan Kalingga pada rentang waktu 400 Masehi yang memang dulu berkedudukan di Jepara.

Putra ketiga Sultan Trenggana adalah seorang putri, yang kelak dinikahkan dengan Mas Karebet atau Jaka Tingkir!

Fatahillah

Pada masa Sultan Trenggana ini pula, sebelum kedatangan Raden Thoyyib, seorang bangsawan dari Pasai, ikut mengabdi ke Demak. Dia adalah Fatahillah. Karena dulu, saat penyerangan Malaka Fatahillah turut serta membantu lasykar Jawa bahkan terkenal dengan keberaniannya, maka Sultan Trenggana mengangkat Fatahillah sebagai Senopati Agung Demak Bintara. Sebuah jabatan yang tidak main-main. Fatahillah menggantikan kedudukan Sunan Kudus. Bahkan, sesungguhnya Sunan Kudus pulalah yang melobi dan menyokong pengangkatan Fatahillah sebagai pengganti dirinya. Sebaliknya, karena sokongan Fatahillah pula, Raden Thoyyib berhasil mendapat kepercayaan dari Sultan Trenggana dan akhirnya menjadi menantu Sultan. Bahkan Fatahillah-pun menjadi adik ipar Sultan Trenggana. Fatahillahh dinikahkan dengan adik perempuan Sultan Trenggana!

Dari Kesultanan Cirebon, Sultan Cirebon Sunan Gunung Jati memberikan kabar kepada Sultan Demak dan Dewan Wali Sangha bahwasanya Raja Pajajaran Ratu Samian (1521-1535) telah mengijinkan armada Portugis di Malaka untuk mempergunakan pelabuhan Sunda Kelapa sebagai pangkalan bangsa Eropa tersebut! Kesultanan Cirebon kalang kabut! Musuh Islam telah mendapat angin segar untuk bercokol di Jawa.

Ratu Samian dari Pajajaran sengaja mengundang armada Portugis ke Sunda Kelapa karena kedudukan Pajajaran terus-terusan digoyang oleh Kesultanan Cirebon dan Kadipaten Banten. Dengan bantuan armada Portugis, setidaknya pelabuhan Sunda Kelapa sebagai jalur utama perekonomian Pajajaran, bisa aman dari gangguan lasykar-lasykar Islam. Pajajaran dan Portugis telah bersekutu! Portugis menerima permintaan Raja Pajajaran tersebut, karena memang, Portugis-pun juga merasa terus-terusan diganggu oleh armada-armada Islam dalam aktifitas perdagangannya!

Kabar dari Kesultanan Cirebon membuat Dewan Wali Sangha ikut cemas. Serta merta, Sultan Demak, atas persetujuan Dewan Wali, memerintahkan Senopati Agung Fatahillah merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran! Pasukan Demak, dibantu pasukan Kesultanan Cirebon dan pasukan dari Kadipaten Banten menyerbu Sunda Kelapa! Peperangan dengan prajurid Pajajaran tak dapat dielakkan! Pertempuran yang dahsyat itu memakan banyak korban jiwa dikedua belah pihak. Pajajaran dikeroyok tiga kekuatan gabungan, dari Demak, Cirebon dan Banten! Armada Portugis belum tiba di Jawa, sehingga Pajajaran terpaksa menghadapi pasukan Islam ini sendirian!

Pajajaran memang tangguh! Beberapakali pasukan gabungan ini terpukul mundur! Namun pada akhirnya, Sunda Kelapa berhasil dikuasai oleh pasukan gabungan pada tahun 1527 Masehi! Kedatangan armada Portugis terlambat! Sunda Kelapa telah jatuh ketangan orang-orang Islam. Armada Portugis, yang tidak tahu menahu situasi tersebut, harus terpukul mundur kembali ke Malaka! Kemenangan ini membuat orang-orang Islam bersuka cita! Sunda Kelapa lantas diakui sebagai wilayah Demak Bintara. Atas perintah Sultan Trenggana, nama Sunda Kelapa diganti dengan Jayakarta ( Jaya : Kemenangan, Karta : Kota. Jayakarta : Kota Kemenangan : Damar Shashangka). Lama-lama, nama Jayakarta berubah menjadi Jakarta hingga sekarang.

Fatahillah dikukuhkan sebagai Adipati Jayakarta. Melihat kegagahan Fatahillah, Sunan Gunung Jati meminta ijin kepada Sultan Demak untuk meminjam tenaga Fatahillah guna menundukkan Pajajaran! Sultan Demak memberikan ijin. Maka berturut-turut, pasukan Cirebon dibawah pimpinan Fatahillah dan bantuan pasukan Demak serta Banten, berhasil menjebol pertahanan Kadipaten-Kadipaten wilayah Pajajaran. Kadipaten Talaga yang dipimpin oleh Prabhu Pacukuman pun jatuh!

Namun, Fatahillah harus mengakui kehebatan Kadipaten Galuh. Prabhu Cakraningrat, penguasa Galuh yang didampingi Patih Arya Kiban, terkenal kuat! Berkali-kali pasukan gabungan yang dipimpin Fatahillah terpukul mundur! Korban dari pihak Islam tidak terbilang lagi! Yang sangat aneh, setiap kali keraton Galuh hendak diserang, seluruh keraton tiba-tiba lenyap dan terlihat menjadi samudera luas! Seluruh pasukan Islam kebingungan dan linglung!

Atas siasat jitu Sunan Gunung Jati yang menyusupkan putri angkatnya, Ni Mas Gandasari, yang terkenal cantik luar biasa itu, maka rahasia taksu niskala atau tumbal gaib Kadipaten Galuh, yang berupa batu berbentu Lingga Yoni, berhasil dicuri!

Prabhu Cakraningrat tidak menyadari bahwa Ni Mas Gandasari berasal dari Kesultanan Cirebon! Kecantikan Ni Mas Gandasari memikat hati Prabhu Cakraningrat! Setelah beberapa lama Ni Mas Gandasari mengabdi sebagai istri selir Raja Galuh, pada akhirnya dia berhasil mengorek keterangan dimana ditempatkan taksu niskala sebagai tumbal Kadipaten Galuh berada. Begitu berhasil mengorek keterangan dari bibir Raja Galuh sendiri, Ni Mas Gandasari diam-diam mengambil taksu niskala tersebut dan membawa lari!

Galuh kecolongan! Begitu taksu niskala telah hilang dari Keraton Galuh, pasukan Islam dibawah pimpinan Fatahillah lantas menyerbu Galuh! Prabhu Cakraningrat memimpin pasukan Galuh sendiri. Bersama Patih Arya Kiban, beliau maju ke garis depan! Raja dan Patih Galuh ini mengamuk hebat di palagan! Prabhu Cakraningrat dan Patih Arya Kiban memang sudah berniat Perang Puputan! Perang habis-habisan! Dan pada akhirnya, keduanya gugur mengukuhi bhumi pertiwi Pajajaran! Dan Galuh berhasil dijebol pasukan Fatahillah!

Maka berturut-turut kemudian, wilayah Pajajaran berhasil dijebol pasukan Fatahillah satu persatu! Hingga akhirnya, pada tahun 1543, pada saat Pajajaran diperintah oleh Prabhu Ratu Dewata (1535-1543 Masehi), Pajajaran benar-benar dikuasai tentara Islam!

Keberhasilan Fatahillah membuat Sunan Gunung Jati menyukai bangsawan Pasai tersebut. Fatahillah akhirnya dinikahkan dengan putri Sunan Gunung Jati yang bernama Ratu Wulung Ayu. Begitu Fatahillah meletakkan jabatan sebagai Adipati Jayakarta, Fatahillah-pun meminta berhenti dari jabatan sebagai Senopati Demak Bintara. Jayakarta diserahkan kepada Tubagus Angke, sedangkan Fatahillah memilih tinggal di Cirebon. Fatahillah lantas dikenal dengan gelar Tubagus Pasai.

Namun setelah Sunan Gunung Jati menyerahkan tampuk pemerintahan Kesultanan Cirebon kepada putranya, Pangeran Muhammad Arifin pada tahun 1547 Masehi, Fatahillah atau Tubagus Pasai, diminta menjabat sebagai Penasehat Agung Kesultanan Cirebon mendampingi Pangeran Muhammad Arifin.

Namun lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1552 Masehi, Sultan Muhammad Arifin wafat. Sunan Gunung Jati lantas menyerahkan tampuk pemerintahan Cirebon kepada Pangeran Seba Kingkin, salah seorang putra Sunan Gunung Jati dari istri yang lain dan yang selama ini menjabat sebagai Adipati Banten. Maka, pusat pemerintahan Cirebon beralih ke Banten. Pangeran Seba Kingkin lantas dikenal dengan gelar Sultan Hasannuddin (1552-1570 Masehi). Di Cirebon sendiri tampuk pemerintahan dipegang oleh Arya Kemuning, menantu Fatahillah. Arya Kemuning hanya berkedudukan sebagai Adipati. Maka dia dikenal dengan gelar Adipati Carbon I.

Pada tahun 1568, tepat berusia 120 tahun, Sunan Gunung Jati wafat.

Mas Karebet menuju Demak Bintara

Putra tunggal Ki Ageng Pengging yang diasuh oleh Nyi Ageng Tingkir, telah tumbuh dewasa. Begitu menginjak dewasa, Nyi Ageng Tingkir selalu dibuat was-was dengan tingkah laku keponakannya ini.

Menginjak usia lima belas tahunan, Mas Karebet gemar pergi ke tengah hutan belantara. Hal ini dilakukannya berhari-hari tanpa pulang. Pulang-pulang cuma sebentar, lantas pergi lagi. Wilayah Tingkir yang masih dikelilingi hutan rimba, kini dipegang oleh pejabat baru yang ditunjuk oleh Sultan Demak. Nyi Ageng Tingkir, sebagai seorang janda bekas Adipati, hidup berkecukupan dari hasil bersawah. Nyi Ageng Tingkir tidak memiliki putra. Praktis, Mas Karebet, keponakannya itu, sangat-sangat beliau sayangi.

Namun, kegemaran Mas Karebet yang sangat suka bepergian dari rumah dan sering memasuki hutan belantara, sangat-sangat mencemaskan Nyi Ageng Tingkir. Manakala Mas Karebet pulang, berkali-kali Nyi Ageng Tingkir mengutarakan kecemasannya. Namun setiap kali pula Mas Karebet menjawab :

“Ibu, jangan khawatir. Di hutan saya banyak memiliki teman pertapa Shiwa Buddha. Saya ke hutan tidak hanya sekedar bermain-main, tapi ngangsu kawruh (menimba ilmu) dari beliau-beliau.”

Walau begitu, Nyi Ageng tetap saja mencemaskan keselamatan putra keponakannya yang sudah dianggap sebagai putranya sendiri. Hingga pada suatu ketika, Nyi Ageng memanggil seorang ulama Islam ke kediaman beliau, khusus didatangkan dan diupah untuk mengajar Mas Karebet. Tapi Mas Karebet sama sekali tidak tertarik. Dia tetap meneruskan kegemarannya mengunjungi para pertapa didalam hutan.

Kebiasaan ini terus berlanjut hingga usia Mas Karebet menginjak dua puluh lima tahun. ( Mas Karebet lahir pada tahun 1499 Masehi : Damar Shashangka) Dan pada akhirnya, kesabaran Nyi Ageng Tingkir benar-benar habis. Dia melarang Mas Karebet pergi dari rumah. Nyi Ageng mengutus dua orang pembantu untuk terus mengawasi Mas Karebet. Mas Karebet diperintahkan Nyi Ageng untuk ikut bekerja bersama pembantu-pembantu yang lain disawah!

Mas Karebet mengalah. Setiap hari, kini Mas Karebet bekerja disawah bersama pembantu-pembantu yang lain.

Pada suatu ketika, manakala Mas Karebet tengah melepas lelah disebuah gubug diareal pesawahan, tanpa sengaja Mas Karebet melihat seseorang berpakaian hitam-hitam dengan membawa tongkat tengah berjalan ditengah pematang pesawahan. Orang itu kelihatan sudah sangat sepuh. Namun masih terlihat tegap saat melangkah. Dia sendirian. Berjalan pelahan ditengah sengatan terik mentari. Pematang yang membujur membelah areal pesawahan dan pada ujungnya akan melewati gubug dimana Mas Karebet melepas lelah itu dititinya pelahan.

Mata Mas Karebet tak lepas-lepas memperhatikan orang tersebut. Mas Karebet-pun tengah sendirian. Para pembantu yang lain, masih tampak sibuk bekerja. Dan anehnya, mereka semua seolah tidak melihat adanya orang tua berpakaian hitam-hitam yang tengah berjalan dipematang sawah ini.

Dan, begitu sosok tua ini sedemikian dekatnya dengan Mas Karebet, mendadak dia menghentikan langkahnya. Dia menatap Mas Karebat sambil tersenyum. Wajahnya luar biasa cerah. Mas Karebet tertegun...

“Ngger, Aneng kene dede pakaryanira. Ananging sejatine, pakaryanira aneng Keraton Demak. Wis, ngger, pamita marang ibunira, mangkata suwita marang Kangjeng Sultan Demak. Weruha, ngger. Sira iku bebakale Ratu Tanah Jawa!”

(Anakku, disini bukanlah tempatmu bekerja. Akan tetapi sesungguhnya, pekerjaanmu ada di Keraton Demak. Sudahlah anakku, mohon ijinlah kepada ibumu, berangkatlah mengabdi kepada Kangjeng Sultan Demak. Ketahuilah anakku, kamu adalah calon Raja Tanah Jawa!)


Mas Karebet tersentak. Namun dia tidak bisa berkata apa-apa. Dan orang tua itu segera berlalu. Mata Mas Karebet tak lekang-lekang mengikuti kepergian sosok misterius tersebut. Otaknya berputar, mencerna kata-kata yang barusan didengarnya.

Dan hanya sekejap Mas Karebet melepaskan pandangan matanya pada sosok misterius tersebut, dia sejenak menunduk, mengingat kata-kata orang tua tadi, sedetik kemudian dia menoleh mencoba kembali mengamati sosok aneh yang barus saja berlalu. Tapi aneh! Sosok itu sudah tidak ada! Padahal pematang sawah itu masih panjang jaraknya dari jalan desa! Mas Karebet tercengang! Sontak dia bangkit mencari-cari kemana orang tadi berjalan! Tidak ada! Orang berpakaian hitam-hitam itu benar-benar raib! Hilang begitu saja!

Mas Karebet kelimpungan! Masih terngiang kata-kata orang misterius barusan! Segera Mas Karebet memutuskan untuk pulang kerumah, melaporkan kejadian tersebut kepada ibunya, Nyi Ageng Tingkir!

Mendapati cerita Mas Karebet, Nyi Ageng Tingkir mengernyitkan kening dan bertanya :

“Ngger, bagaimana ciri-ciri orang tersebut?”

Mas Karebet menjawab :

“Angagem sarwa wulung. Busana wulung, iket wulung.”

(Mengenakan pakaian serba hitam. Berjubah hitam dan berikat kepala hitam)


Nyi Ageng Tingkir memekik kaget :

“Itu Kangjeng Sunan Kalijaga! Sudah, ngger, berangkatlah ke Demak. Aku mempunyai seorang kakak kandung yang menjabat sebagai Lurah Kaum ( Kepala pengurus masjid Istana : Damar Shashangka)), namanya Ki Ganjur. Sudahlah, aku kirim kamu kesana. Ikutlah pamanmu di Demak Bintara!”

Nyi Ageng Tingkir begitu gembira. Secepatnya dia mempersiapkan keberangkatan Mas Karebet ke Demak Bintara. Dua orang pembantu diutus mengiringi keberangkatan putra kesayangannya tersebut.

Keesokan harinya, Mas Karebet diantar dua orang pembantu berangkat ke ibu kota Demak.

Di Demak, ketiganya langsung menuju kediaman Ki Ganjur, Lurah Kaum. Setelah menitipkan Mas Karebet, dua orang pembantu tersebut mohon ijin pulang kembali ke Tingkir. Mas Karebet mulai tinggal diibu kota Demak tepat pada tahun 1524 Masehi.

Ki Ganjur tahu siapa Mas Karebet. Sosok pemuda trah Pengging satu-satunya. Trah pewaris tahta Majapahit yang sesungguhnya. Ki Ganjur-pun tahu, Mas Karebet pemeluk Shiwa Buddha. Tapi hal tersebut tidak menjadi masalah bagi Ki Ganjur, karena dia melihat masa depan Mas Karebet sangat cerah dikemudian hari.

Mas Karebet, lantas dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir oleh orang-orang dilingkungan Kaum. Jaka Tingkir berarti seorang perjaka dari Tingkir. Tugas Mas Karebet atau Jaka Tingkir setiap hari hanyalah membersihkan areal masjid Demak. Jaka Tingkir melakukan tugas tersebut dengan sepenuh hati. Walau dia tidak ikut menggunakan tempat ibadah itu bagi dirinya, namun bagi Jaka Tingkir, tak ada bedanya membersihkan sebuah tempat ibadah suci umat lain maupun tempat ibadah suci bagi pemeluk Shiwa Buddha.

Tak ada yang berani protes atas kehadiran Jaka Tingkir ditempat itu. Karena Jaka Tingkir adalah keponakan Ki Ganjur sendiri. Berbulan-bulan Jaka Tingkir tinggal ditempat Ki Ganjur. Hingga pada suatu ketika, Ki Ganjur mendapat ide jitu untuk menarik perhatian Sultan Demak.

Ki Ganjur menyarankan Jaka Tingkir untuk menyengaja terlambat saat membersihkan masjid Demak tepat pada hari Jun'at mendatang. Tujuannya, apabila nanti Sultan Trenggana hadir hendak melaksanakan shalat Jum'at seperti biasanya, Sultan Trenggana biar melihat Jaka Tingkir yang masih sibuk membersihkan areal masjid. Dengan cara itu, Sultan Trenggana pasti akan kurang berkenan. Manakala Sultan Demak marah, biar Ki Ganjur yang akan memohonkan ampunan, sekaligus Ki Ganjur akan membuka jati diri Jaka Tingkir dihadapan Sultan Demak.

Ki Ganjur akan meyakinkan Sultan Demak bahwasanya sosok Jaka Tingkir sangat-sangat dibutuhkan oleh Kesultanan. Jaka Tingkir masih putra Ki Ageng Pengging. Sosok yang sangat disegani sisa-sisa bangsawan Majapahit. Dengan memanfaatkan Jaka Tingkir, Sultan Demak bisa menaklukkan kekuatan-kekuatan Shiwa Buddha yang dibeberapa daerah masih juga terus mengadakan perlawanan, baik yang terang-terangan maupun gerilya.

Ki Ganjur dan Jaka Tingkir sepakat.

Pada hari Jum'at yang sudah ditetapkan, pagi-pagi sekali masjid Demak sudah ramai-ramai dibersihkan oleh para Kaum. Sultan Trenggana menjelang siang hari pasti akan hadir untuk melaksanakan shalat Jum'at di sana. Beliau akan hadir beserta para pejabat yang lain. Namun Jakatingkir, tidak terlihat.

Menjelang siang hari, baru Jaka Tingkir muncul. Dia menyibukkan diri membersihkan ruangan dalam masjid. Padahal, waktu dilaksanakannya shalat Jum'at sudah sedemikian dekat. Para Kaum keheranan melihat ulah Jaka Tingkir. Dia diperingatkan bahwasanya rombongan Sultan akan segera hadir. Namun Jaka Tingkir seolah tidak peduli.

Dan benar, sesaat kemudian dihalaman masjid terlihat ramai. Rombongan Sultan Trenggana beserta para pejabat Demak telah hadir! Para Kaum kalang kabut, mereka cepat berlarian keluar menyambut kedatangan rombongan Sultan.

Begitu Sultan Trenggana hendak memasuki ruang dalam masjid, dia melihat didalam masih ada seorang pemuda yang tengah sibuk membenahi ruangan. Sultan Demak keheranan. Siapakah orang yang kurang ajar tidak mau menyambut kehadirannya. Kehadiran seorang Sultan Demak Bintara?

Para Kaum geger!

Sultan Trenggana segera memerintahkan prajurid Demak memanggil Jaka Tingkir! Jaka Tingkir pura-pura kaget dan segera berlari menghampiri Sultan Demak begitu beberapa prajurid dengan kasar menghardik dia. Jaka Tingkir menghaturkan sembah seraya memohon ampunan. Dengan posisi bersila dan kedua tangan tercakup didepan wajah.

Sesaat Sultan Trenggana mengamati sosok pemuda yang bersila didepannya. Tampan dan gagah. Bukan keturunan rakyat biasa. Sultan Trenggana lekat-lekat mengamati sosok pemuda itu, lantas dia bertanya :

“ Kamu siapa? Tidak tahukah sopan santun seorang kawula apabila Gusti-nya datang?”

Jaka Tingkir menjawab :

“Kasinggihan dhawuh, Kangjeng. Saya Jaka Tingkir, putra keponakan Ki Ganjur. Mohon ampun atas ketidak sopanan hamba...”

Sultan Trenggana heran. Kata-kata Jaka Tingkir sangat tertata dan halus. Siapakah gerangan pemuda ini? Dalam hati Sultan Trenggana bertanya-tanya.

(Dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan, begitu Sultan Trenggana hadir, Jaka Tingkir melompati kolam masjid Demak dalam posisi membelakangi Sultan. Hal ini membuat Sultan kaget sekaligus tersinggung. Melompati kolam masjid sambil membelakangi Sultan sesungguhnya melambangkan bahwa Jaka Tingkir telah 'melompati tata aturan tempat suci seorang Sultan' : Damar Shashangka)

Mendadak seseorang tergopoh-gopoh menghampiri Sultan Demak sambil menyembah dan bersila disamping Jaka Tingkir. Dia adalah Ki Ganjur.

“Kasinggihan dhawuh, Kangjeng. Ini adalah putra keponakan saya yang baru datang dari desa. Mohon ampun atas kelancangannya. Tolong dimaklumi, karena dia masih bodoh dan belum menahami tata krama Keraton.”

Karena waktu shalat Jum'at sudah harus dimulai, Sultan Trenggana-pun lantas berkata :

“Seusai shalat Jum'at, kamu harus menghadap ke Istana!”

Ki Ganjur dan Jaka tingkir menunduk. Umpan mereka telah dimakan. Dan rombongan Sultan Demak-pun memasuki masjid Agung untuk menunaikan shalat Jum'at.

JAKA TINGKIR

Oleh : Damar Shashangka


Bagian 1

Catatan ini adalah kelanjutan catatan-catatan saya sebelumnya, yaitu Misi Peng-Islam-an Nusantara, Sekelumit Kisah Sunan Kajenar atau Syeh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging.
-Damar Shashangka-

Demak Bintara, Kesultanan Islam pertama di Jawa, yang berdiri pada tahun 1479 Masehi, setelah berhasil satu persatu menumbangkan penguasa-penguasa keturunan Majapahit, kini mulai menancapkan kuku kekuasaannya di tanah Jawa. Sultan Syah Alam Akbar Jiem Boen-ningrat I atau Raden Patah, menjadi penguasa tunggal pewaris dinansti Majapahit.

Raden Patah memiliki beberapa orang putra-putri, dan yang terkenal diantaranya adalah Raden Yunus, sebagai putra sulung, kelak terkenal dengan nama Adipati Yunus ( Dipati Unus) dan juga terkenal dengan gelar Pangeran Sabrang Lor ( Pangeran Yang Pernah Menyeberang Ke Utara ). Putra kedua bernama Raden Suryawiyata, kelak dikenal dengan gelar Pangeran Sekar Seda Lepen ( Bunga Yang Gugur Ditepi Sungai ). Yang ketiga Pangeran Trenggana, kelak terkenal dengan gelar Sultan Trenggana. Yang keempat seorang putri, yang kelak dinikahkan dengan bangsawan Pasai yang tersohor, Fatahillah.

Pada tahun 1511 Masehi, terdengar kabar di Jawa, Kesultanan Malaka berhasil dijebol pertahanannya oleh Kerajaan Portugis. Malaka dibawah pemerintahan Sultan Mahmud Syah (1488-1511 Masehi) tidak mampu membendung serangan armada laut Portugis yang datang dari India. Dibawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque, Malaka berhasil dihancurkan! Laksmana handal Malaka, Hang Tuah, gugur!

Malaka jatuh! Penyerangan ini dipicu oleh sikap Kesultanan-Kesultanan Islam yang diskriminatif dalam hubungan perdagangan dengan bangsa Eropa yang mayoritas beragama Nashrani. Faktor lain yang menyebabkan bangsa Eropa berlomba-lomba ingin menguasai wilayah kaya rempah-rempah adalah jatuhnya kota Constantinopel, ibu kota Kerajaan Romawi Timur pada tahun 1453 ketangan Kesultanan Turki Utsmani. Kerajaan Romawi Timur tunduk dibawah kekuasaan kaum Islam. Hal ini mengakibatkan tertutupnya perdagangan di Laut Tengah bagi bangsa Eropa. Kesultanan Turki mempersulit para pedagang Eropa beroperasi diwilayahnya. Padahal bangsa Eropa memerlukan pasokan rempah-rempah.

Hal ini pulalah yang memicu munculnya semangat ekstrim bangsa Eropa yang dikenal dengan semangat RECONQUESTA, yaitu semangat membalas dendam kepada kekuasaan Islam dimanapun berada! Politik konfrontasi dikedepankan oleh bangsa Eropa terhadap Kesultanan-Kesultanan Islam diseluruh dunia. Dan Malaka, kini menjadi sasarannya! Jatuhnya Malaka adalah suatu keberhasilan luar biasa bagi Portugis, karena Malaka adalah pusat perdagangan Islam di Asia Tenggara kala itu!

Kabar kejatuhan Malaka membuat Kesultanan-Kesultanan Islam di Nusantara geger! Raden Patah, penguasa Kesultanan Islam Jawa, Demak Bintara, tak kalah berang!

Malaka adalah jalur utama perdagangan Nusantara. Jika Malaka dikuasai Portugis, maka pedagang-pedagang Islam akan kesulitan melakukan kegiatan perekonomian. Maka, atas fatwa Dewan Wali Sangha, Sultan Syah Alam Akbar Jiem Boen-ningrat I, penguasa Demak Bintara, mengutus putra sulungnya, Raden Yunus memimpin Armada Laut Demak untuk menyerang Malaka!

Pada tahun 1513, dua tahun setelah kejatuhan Malaka ditangan Portugis, beribu-ribu Armada Laut Demak berlayar menuju Malaka dengan persenjataan lengkap! Peperangan sekali lagi akan terjadi! Malaka, sekali lagi akan dijadikan ajang pertumpahan darah! Pertumpahan darah yang dipicu oleh masalah politik, ekonomi dan agama!

Peperangan-pun pecah! Portugis mati-matian membendung serangan besar-besaran dari Lasykar Jawa! Portugis terpukul mundur!Lasykar Jawa begitu dahsyatnya! Beberapa wilayah Malaka berhasil diduduki Lasykar Jawa! Namun sayang, penyerangan ini tidak disertai dukungan penuh dari pihak Malaka! Malaka diam-diam malah mempersulit gerak laju Lasykar Jawa! Mereka takut, jika Portugis berhasil dipukul mundur, maka sekali lagi, Malaka akan jatuh ketangan orang-orang Jawa seperti saat Majapahit berkuasa! Suatu alasan yang klasik dan ironis!



PEPERANGAN ARMADA DEMAK DENGAN ARMADA PORTUGIS DI MALAKA (1513 Masehi)

Dan pada akhirnya, Portugis berhasil memukul mundur Lasykar Demak Bintara dari Malaka! Kekalahan telak bagi Demak! Sisa-sisa Pasukan Laut Demak akhirnya bertolak kembali ke Jawa.

Untuk mengenang peristiwa ini, maka Raden Yunus, pemimpin Lasykar Demak yang menyerang Portugis di Malaka,mendapat gelar kehormatan, Pangeran Sabrang Lor ( Pangeran Yang Pernah Menyeberang ke Utara)

Lima tahun setelah penyerangan, yaitu pada tahun 1518 Masehi, Raden Patah wafat.Raden Yunus lantas terpilih menggantikan ramandanya dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar Jiem Boen-ningrat II.

Begitu Raden Yunus memegang tampuk pemerintahan Demak, politik garis keras Islam semakin ekstrim dia terapkan. Hal ini terpicu oleh masuknya bangsa Eropa ke Nusantara. Namun efek balik dari diterapkannya politik yang radikal ini, membuat para bangsawan Majapahit yang masih berpegang pada keyakinan Shiwa Buddha ikut terkena imbasnya.

Tiga tahun kemudian, tepat pada tahun 1521 Masehi, Raden Yunus terbunuh oleh sisa-sisa lasykar Majapahit yang merasa semakin tersudutkan. ( Dalam berbagai cerita tradisional, dikisahkan Keris Kyai Naga Sasra menggigit punggung Raden Yunus hingga wafat : Damar Shashangka). Raden Yunus belum memiliki seorang putra. Hal ini mengakibatkan Dewan Wali Sangha harus menunjuk adik Raden Yunus untuk memegang tampuk pemerintahan Demak.

Pangeran Trenggana, Sultan Demak ke III

Dewan Wali Sangha terpecah menjadi dua kubu menjelang pemilihan Sultan Demak pengganti Raden Yunus. Sebagian mengusulkan Raden Suryawiyata, putra kedua Raden Patah sebagai pengganti, dan sebagian yang lain mengusulkan Pangeran Trenggana, putra ketiga Raden Patah sebagai penggantinya.

Kala itu, Dewan Wali Sangha dipimpin oleh Sunan Giri Dalem, putra Sunan Giri Kedhaton yang telah wafat pada tahun 1506 Masehi. Parktis, kedudukan Sultan di Giri-pun dugantikan oleh Sunan Giri Dalem. Banyak para wali sepuh yang sudah wafat dan digantikan oleh para wali muda. Namun ada dua orang wali yang masih hidup dan sangat-sangat disegani. Keduanya adalah Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus.

Sunan Kudus kini menjabat sebagai Penasehat Agung Kesultanan Demak. Jabatan sebagai Senopati telah dilepaskannya. Sedangkan Sunan Kalijaga tetap bermain dibelakang layer. Beliau diam-diam menggembleng trah Tarub, terutama Raden Getas Pandhawa, putra Raden Bondhan Kejawen. (Baca catatan saya Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka). Selain itu, beliau juga tengah menunggu Mas Karebet, putra Ki Ageng Pengging yang kini tinggal di Tingkir untuk beranjak dewasa.

Dan Raden Getas Pandhawa, adalah guru dari Pangeran Trenggana. Praktis, Pangeran Trenggana adalah cucu murid Sunan Kalijaga. Dan oleh karena itulah, Pangeran Trenggana lebih pro ke Islam Abangan.

Dilain pihak, Raden Suryawiyata, berguru dan bahkan dianggap sebagai murid emas oleh Sunan Kudus. Oleh karena itu pula, Raden Suryawiyata lebih pro ke Islam Putihan.

Persaingan antara kubu Putihan dan Abangan ini kembali meruncing setelah beberapa waktu lalu, disaat pemerintahan Raden Patah sempat mereda. Dan persaingan semakin memanas setelah Raden Yunus wafat karena terbunuh!

Atas bantuan Sunan Kalijaga yang berhasil melobi pimpinn Dewan Wali Sangha, Sunan Giri Dalem, suksesi pencalonan Pangeran Trenggana sebagai Sultan ketiga Demak, berhasil gemilang! Pangeran Trenggana berhasil menduduki tahta Demak Bintara menggantikan Raden Yunus dan berhak menyandang gelar Sultan Syah Alam Akbar Jiem-Boen-ningrat III. Kubu Islam Abangan berhasil memenangkan pertarungan politik. Hal ini terjadi pada tahun 1521 Masehi.

Raden Suryawiyata menolak mengakui adiknya sebagai seorang Sultan Demak. Segera setelah dikukuhkannya Pangeran Trenggana sebagai Sultan, Raden Suryawiyata, yang berkedudukan di Kadipaten Jipang Panolan ( Sekarang sekitar wilayah Blora, Jawa Tengah : Damar Shashangka. ) segera mengadakan gerakan makar! Perlawanan bersenjata-pun terjadi! Peperangan berkobar antara Demak dengan Jipang Panolan. Diam-diam, Sunan Kudus berada dibelakang gerakan ini. Jipang Panolan dan Pesantren Kudus, sebenarnya berhubungan erat. Bahkan beberapa santri Sunan Kudus, diam-diam menyokong gerakan makar ini!


Peperangan berlangsung alot! Jipang Panolan sulit ditaklukkan! Namun, pada akhirnya kemenangan berhasil diraih pihak Pangeran Prawata. Raden Suryawiyata berhasil dipukul mundur dan harus melarikan diri dari Jipang Panolan. Peperangan benar-benar berhenti manakala Raden Suryawiyata berhasil dibunuh ditempat persembunyiannya.

Pangeran Prawata, putra sulung Pangeran Trenggana dan Pangeran Hadiri, menantu Pangeran Trenggana yang dinikahkan dengan Nimas Ratu Kalinyamat, (Pangeran Hadiri berkuasa didaerah Kalinyamat dan bergelar Pangeran Kalinyamat atau Sunan Kalinyamat. Sekarang berada didaerah Jepara, Jawa Tengah : Damar Shashangka ), berhasil menemukan persembunyian Raden Suryawiyata dan berhasil pula membunuh putra kedua Raden Patah tersebut!

Ada kisah menarik sehubungan dengan terbunuhnya Raden Suryawiyata. Manakala pasukan Jipang Panolan terpukul muncur, Raden Suryawiyata berhasil melarikan diri dan bersembunyi disuatu tempat. Konon, Raden Suryawiyata terkenal sangat sakti mandraguna. Tidak satupun senjata yang mampu melukainya, kecuali sebuah senjata pusaka yang dikenal dengan nama Keris Kyai Brongot Setan Kober. Dan keris ini hanya dimiliki oleh Sunan Kudus dan tersimpan di Pesantren Kudus!

Pangeran Trenggana tahu akan rahasia ini. Dia mengatur siasat jitu untuk menumpas habis lasykar Jipang Panolan. Pada suatu saat, Sunan Kudus, tanpa ada kepentingan yang jelas, dipanggil menghadap ke Demak Bintara. Sebagai seorang Penasehat Agung, mau tidak mau Sunan Kudus harus memenuhi panggilan Sultan Demak yang baru tersebut. Dengan diiringi beberapa santri pilihan dan di kawal pasukan Demak yang menjemputnya, Sunan Kudus berangkat dari Pesantren Kudus menuju Demak Bintara.

Selang beberapa waktu keberangkatan Sunan Kudus, menjelang tengah hari, Pangeran Prawata dan Pangeran Hadiri yang masih muda-muda, datang ke Pesantren Kudus dengan dikawal beberapa prajurid Demak. Mereka berdua mohon ijin menemui istri Sunan Kudus, konon mereka mendapat pesan dari Sunan Kudus yang kini tengah berada di Keraton Demak.

Istri Sunan Kudus mempersilakan mereka menghadap. Dihadapan istri Sunan Kudus, Pangeran Prawata mengatakan bahwa Sunan Kudus menyuruh mereka untuk mengambil Keris Kyai Brongot Setan Kober. Sunan Kudus tengah memerlukannya sekarang!

Karuan saja, istri Sunan Kudus mempercayainya. Dan tanpa menaruh rasa curiga sedikit-pun, istri Sunan Kudus memberikan Keris pusaka tersebut kepada Pangeran Prawata. Begitu Keris Kyai Brongot Setan Kober sudah ditangan, Pangeran Prawata dan Pangeran Hadiri mohon pamit!

Manakala Sunan Kudus pulang dari Keraton, betapa terkejutnya dia setelah mengetahui bahwa Kyai Brongot Setan Kober berhasil dibawa lari oleh Pangeran Prawata dan Pangeran Hadiri. Sunan Kudus marah besar! Seketika itu juga, Sunan Kudus mengirimkan kurir untuk menyampaikan kabar tersebut sekaligus mempertanyakan keberadaan Pangeran Prawata dan Pangeran Hadiri kepada Sultan Demak. Namun, Sultan Demak memberikan jawaban melalui kurir pula bahwasanya, dia tidak tahu menahu akan urusan tersebut!

Sunan Kudus dalam dilema. Dua orang Pangeran yang telah menipu istrinya adalah putra dan putra menantu Sultan Demak. Sunan Kudus tidak berani terang-terangan dan ceroboh mengambil tindakan. Walau dia telah sadar, dia telah ditipu mentah-mentah dan Sultan Demak pasti berada dibelakang semua kejadian ini. Secara diam-diam, Sunan Kudus memerintahkan murid-murid pilihannya untuk melacak keberadaan Pangeran Prawata dan Pangeran Hadiri. Dan dipihak Sultan Demak, keberadaan kedua Pangeran ini sengaja disembunyikan, walaupun secara diam-diam pula!

Pelacakan oleh murid-murid Sunan Kudus tidak membawa hasil. Keberadaan Pangeran Prawata dan Pangeran Hadiri bak raib ditelan bumi. Baru beberapa bulan kemudian terdengar kabar, Raden Suryawiyata telah terbunuh di suatu tempat, dipinggir sebuah sungai dengan Keris Kyai Brongot Setan Kober masih menancap dibelikatnya! Raden Suryawiyata lantas dikenal dengan gelar Pangeran Sekar Seda Lepen ( Pangeran Bunga Yang Meninggal Disungai ).

Sunan Kudus benar-benar merasa kecolongan. Tapi posisinya saat ini benar-benar terjepit semenjak Pangeran Trenggana menduduki tahta. Dia tidak bias berbuat apa-apa secara terang-terangan!

Yang berhasil membunuh Raden Suryawiyata, tak lain memang Pangeran Prawata. Setelah berhasil membawa lari Kyai Brongot Setan Kober, Pangeran Prawata diutus memimpin pasukan khusus yang melacak tempat persembunyian Raden Suryawiyata. Beberapa bulan kemudian, tempat persembunyian Pangeran Demak itu diketemukan!

Raden Suryawiyata hanya diikuti oleh beberapa pasukan Jipang yang tak seberapa. Dan beberapa pasukan ini bias dilumpuhkan dengan mudah oleh pasukan khusus Demak! Praktis, Raden Suryawiyata kini benar-benar tanpa pengawal. Dan kehadiran pasukan khusus Demak ini juga benar-benar tidak disadari oleh Raden Suryawiyata. Kala itu, dia tengah melakukan sembahyang Dzuhur, tepat dipinggiran sungai berbatu.

Pangeran Prawata dan Pangeran Hadiri mengendap-endap mendekati Raden Suryawiyata yang tengah bersembahyang. Suara derasnya aliran sungai benar-benar membantu menyamarkan gerakan kedua Pangeran sehingga tidak didengar oleh Raden Suryawiyata. Dan begitu sudah sedemikian dekat, Pangeran Prawata menghunus keris Kyai Brongot Setan Kober dan segera menikam belikat Raden Suryawiyata dari belakang! Tepat waktu itu, Raden Suryawiyata tengah dalam posisi duduk!

Raden Suryawiyata menjerit kesakitan! Tubuhnya roboh kesamping! Darah menyemburat dari belikatnya dan sebuah keris tertancap disana! Mata Raden Suryawiyata nyalang mencari siapa yang telah berani menikamnya! Dan mata Raden Suryawiyata tertambat pada Pangeran Prawata dan Pangeran Hadiri! Dengan menggeram marah, Raden Suryawiyata berkata :

“Prawata!!! Apa sira bidhog!! Ana wong sembahyang sinuduk wangkingan!!!”

(Prawata!!! Apa kamu buta!! Ada orang sembahyang ditusuk senjata!!!)

Namun, sesaat kemudian, Raden Suryawiyata tersungkur dan menghembuskan nafas terakhir dengan darah menggenangi batu tempat dia bersembahyang. Dan bersaman dengan itu, anehnya, mendadak pandangan mata Pangeran Prawata menjadi kabur…dan lama-lama, dunia berubah menjadi gelap gulita! Pangeran Prawata benar-benar menjadi buta mendadak!

Pangeran Prawata panik! Dengan dibantu Pangeran Hadiri, Pangeran Prawata dituntun kembali ketempat pasukan Demak berada dan segera memerintahkan secepatnya meninggalkan tempat tersebut. Pangeran Prawata dan Pangeran Hadiri lupa, bahwasanya Kyai Brongot Setan Kober masih menancap dibelikat mayat Raden Suryawiyata! Karena kepanikan akibat kebutaan yang mendadak, kedua Pangeran ini telah berbuat ceroboh!

Ada beberapa pasukan Jipang Panolan yang ternyata masih hidup dan bersembunyi. Mereka melihat langsung kejadian tersebut. Secepatnya mereka membagi tugas, sebagian menuju Pesantren Kudus untuk melaporkan kejadian tersebut kepada Sunan Kudus dan sebagian merawat jenazah Raden Suryawiyata.

Beberapa hari kemudian, Sunan Kudus diiringi beberapa santrinya dating ketempat tersebut. Didapatinya, Raden Suryawiyata telah dikebumikan disana. ( Sampai sekarang saya belum mendapat informasi, dimana lokasi ini berada : Damar Shashangka.)

Keris Kyai Brongot Setan Kober, diserahkan kepada Sunan Kudus oleh salah seorang pasukan Jipang yang menjadi saksi kejadian itu. Diam-diam, Sunan Kudus menyimpan dendam tersendiri!

Raden Suryawiyata meninggalkan seorang anak laki-laki yang masih kecil di Kadipaten Jipang Panolan. Anak laki-laki putra satu-satunya Raden Suryawiyata ini, diambil anak angkat oleh Sunan Kudus. Kelak anak ini dikenal dengan nama ARYA PENANGSANG!.









RADEN PATAH (SULTAN SYAH ALAM AKBAR JIEM-BOEN-NINGRAT I ) (1478-1518 Masehi)

Selasa, 22 Maret 2011

Belajarlah Mati Sebelum Kematian itu Datang



"Belajarlah Mati sebelum kematian itu datang". Kata-kata itu sepertinya hanya sebuah kata iseng yang diucapkan. Tetapi jika kita telaah dan pahami secara rinci, kata-kata itu mengandung makna yang sangat dalam dan sarat ilmu.

Belajar mati disini bukanlah dalam artian kita harus bunuh diri untuk bisa mengecap sebuah kematian. Tetapi arti kata belajar mati di sini adalah mematikan segala bentuk hawa nafsu untuk bisa bertemu dengan Sang Khaliq.
Orang yang beragama Islam juga memiliki kata-kata seperti itu yakni "Sholatlah kamu sebelum kamu disholati orang lain". Artinya, bagi orang yang beragama Islam harus menjalankan sholat yang sejati. Bukan sholat yang hanya sekedar "gugur kewajiban" saja. Tetapi sholat disini adalah mengenal, menghadap, menyembah Allah. Dengan sholat, kita bisa mengenali Allah. Dengan Sholat kita bisa berbicara dan berkomunikasi dengan Allah. Seusai sholat, kita akan bisa merasakan kenikmatan dalam berkomunikasi dengan Allah.
Kembali pada pokok bahasan belajar mati. Dalam hal ini, belajar mati adalah berdiam diri (meditasi/samadhi) dengan mematikan hawa nafsu, pancaindera dan hal-hal lain yang berhubungan dengan nafsu. Semata-mata yang bergerak adalah hati dan rasa. Rasa sejati dengan bimbingan dari Gusti ALLAH lewat Guru Sejati. Dengan samadhi/meditasi, maka seseorang bisa mematikan diri sendiri dan berkontemplasi, konsentrasi menghadap khusuk pada Gusti ALLAH.
Dengan samadhi/meditasi, kita meninggalkan dunia ini untuk sementara waktu dan memasuki alam lain yakni alam jabarut, malakut hingga alam ilahiah. Dengan memasuki berbagai alam ini kita akan bisa melihat kebesaran dari Gusti ALLAH akan semua makhluk ciptaannya. Jika hal itu sering kita lakukan, maka sewaktu-waktu jika kita dipanggil oleh Gusti ALLAH (meninggal dunia), kita sudah siap.

Mengetuk Pintu Gusti ALLAH
Tidak ada bedanya tatakrama ketika kita bertamu dengan ketika kita menghadap pada Gusti ALLAH. Kalau kita bertamu ke rumah rekan atau sahabat, tentunya harus mengetuk pintu terlebih dulu sebelum siempunya rumah keluar. Demikian pula ketika hendak menghadap pada Gusti ALLAH. Kita harus mengetuk pintuNYA.
Mengetuk pintuNYA itu tidak dalam artian yang sebenarnya. Tetapi dalam artian meminta ijinNYA untuk bisa masuk ke alamnya. Manusia tidak akan bisa masuk dengan sendirinya tanpa mengetuk pintu Gusti ALLAH itu. Cara mengetuk pintu tersebut adalah dengan doa yang disebut dengan doa kunci.
Doa tersebut hendaknya dibaca tujuh kali dengan menahan napas setiap kali membacanya. Doa tersebut berbunyi:

Gusti Ingkang Moho Suci
Kulo Nyuwun Pangapuro Dhumateng Gusti Ingkang Moho Suci
Sirrullah, Dzatullah, Sifatullah
Kulo Sejatining Satrio Nyuwun Panguoso
Kulo Nyuwun Kanggo Tumindhake Satrio Sejati
Kulo Nyuwun Kanggo Anyirnakake Tumindak Ingkang Luput.


Dengan mengetuk pintu Gusti ALLAH tersebut, maka kita sudah bisa melanglang buana milik ALLAH yang tidak semua orang bisa memasukinya. Tentu saja, semua itu atas izin dari Gusti ALLAH sendiri sebagai pemilik alam semesta. Mudah-mudahan artikel tersebut dapat berguna. Rahayu...Rahayu....Rahayu....

Sabtu, 19 Maret 2011

BEBUKANING WIRID

W I R I D
BEBUKANING WIRID

Bebukaning Wirid kang amratelakake ganepe patraping amejang ngelmu makrifat kasampurnaning ngaurip, ing jaman semana wis katindakake dening para Wali kabeh, urute sawiji-wiji ing ngisor iki.

Ingkang dingin, wiwitan patrap kang dadi kawajiban, iku guru karo bakal murid pada amet banyu wudu, sarta niayat kang karepe mengkene : “Nawaitu raf’al hadasi suharata walakabirata fardlanlillahi ta ala Allahu akbar” (Niyatingsun amet banyu kadas, angilangake kadas cilik lan gede perlu karana Allah).

Nuli pada dandan anganggo sandangan sarwa suci, ora kena anganggo kang mawa emas, utamane manawa karsa anganggo kuluk, banjur ngliga sarira kekonyo gando wida, sarta nganggo sumping kembang oncen-oncen Surengpati ana ing kuping kiwa, karo nganggo kalung kembang oncen-oncen Margasupana, wangun kaya oncen-oncen usus pitik karangkep telu, utawa nganggo gombyok keris kaya pangaten anyar.

Nuli ing pamejangan katata dipasangi tetuwuhan maju papat,sarta kadodokan lampit kang resik, banjur katumpangan klasa pasair kang tigas, ing duwur pisan katumpangan mori putih saules lapis pitu, apese lapis telu, mawa kasebaran kembang campur bawur.

Nuli sesaosan srikawin salaka putih bobot satail, kadokok ing wewadah tunggal karo lengz sundul-langit, sarta menyan bobot saringgit, kasasaban mori putih mawa pangiring sesanggan gedang agung suruh ayu, jambene tanganan, kasasaban mori putih dadi rong wadah sarta kembar mayang sajodo pada sumaji ana ing pamejangan.

Nuli ing antara manawa wis sirep wong utawa wayah tengah wengi, pada tindak menyang enggon pamejangan, kang bakal kawejang linggih madep mangulon , sarta dedupa ratus kaasepake ing kuping kiwa, banjur ing irung, wekasan ing dada, iku wiwit kawejang teka gurune. Dene kang kawejangake, anurut pamejange para Wali wolu ing Tanah Jawa, kakumpulake dadi sawiji. Wijose pada amet wijining ngelmu kekiyasan saka Dalil pangandikaning Allah, kang kasebut ing dalem Hadis pangandikane Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah marang Sayidina Ali kawisikake ing kuping kiwa, pepangkatane dadi wolung wejangan, kapratelakake ing ngisor iki jarwane kabeh :

1. Wisikan Ananing Dzat

Wejangan punika dipun-wastani wisikan ananing Dzat, awit dening pamejangipun kawisikaken ing talinga kiwa, wiyosipun kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang wiwitan, nukilan saking warahing kitab Hidayat khakaik, amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Maha Suci dhateng Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah, makaten jarwanipun :
“Sejatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhingin iku ingsun, ora ana Pangeran Nanging Ingsun, sajatining Dzat Kang Maha Suci anglimput ing Sipatingsun, anartani ing asmaningsun amratandhani ing afngalingsun”.

2. Wedharan Wahananing Dzat

Wejangan punika dipun wastani Wedharan Wahananing Dzat, awit dene pamejanganipun amarah urut-urutan dumadining Dzat, sipat, wahanipun kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang kaping kalih, nukilan saking sarahing kitab Dakaikalkaik.

Amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Maha Suci dhateng Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah, karaos ing dalem rahsa makaten jarwanipun :
”Sajatine ingsung Dzat Kang Amurba Amisesa Kang Kawasa anitahaken sawiji-wiji, dadi padha sanalika, sampurna saka ing kodratingsun, ing kono wus kanyatan pratandhaning afngalingsun kang minangka bebukaning IraDzatingsun, kang dhingin Ingsun anitahaken kayu aran Sajaratulyakin tumuwuh ing sajroning alam Adamm akdum azali abadi, nuli cahya aran Nur Muhammad, nuli kaca aran Mirhatulkayai, nuli nyawa aran roh Idlapi, nuli damar aran Kandhil, nuli sesotya aran Darah, nuli dhindhing jalal aran Kijab kang minangka warananing Kalaratingsun”.

3. Gelaran Kahaning Dzat

Wejangan punika dipun wastani gelaran kahaning Dzat, awit dening pamejanganipun ambabar dados kanyataan anasiring Dzat sipat, inggih punika nalika Pangeran Kang Maha Suci karsa amujudaken sipatipun. Gumelar kahananipun kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang kaping tiga, nukilan saking Kitab bayan Humirat mupakat kaliyan Kitab Bayan Alip, kitab Madinil Asror, kitab Makdinil Maklum, inggih punika bangsaning kitab tasawup sadaya. Sami amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Maha Suci dhateng Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah karaos ing dalem rahsa, makten jarwanipun ;
”Sajatine manungsa iku rahsaningsun, lan Ingsun iki rahsaning manungsa, karana Ingsun anitahake Adam, asal saking anasir patang prakara : 1. Bumi, 2. Geni, 3. Angin, 4. banyu, Iku kang dadi kawujudaning Sipatingsun. Ing kono ingsun panjingi mudah limang prakara : 1. Nur, 2. Rahsa, 3. Roh, 4. Napsu, 5. Budi, iya iku minangka warananing wajahingsun Kang Amaha Suci”.

4. Pambuka Tata Malige Ing Dalem Bait-al-makmur

Wejangan punika dipun wastani, kayektening kahanan Kang Maha Luhur, inggih punika pambukaning tata malige ing dalem Bait-al-makmur. Awit dening pamejangipun ambuka kodrat iraDzating Pangeran Kang Maha suci, anggenipun karsa anjenengaken maligening Dzat minangka Baitullah wonten ing sarahipun manungsa, punika sajatosipun dados pitedhah kayektening kahanan satunggal-tunggal, anandhakaken kalarating Dzat Kang Maha Mulya langgeng boten kenging ewah saking gingsir saking kahanan jati.

Kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang kaping sekawan nungkilan saking sarahing Kitab Insan Kamil, amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Maha Suci dhateng Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah hayat ingkang kapisan karaosaken ing dalem rahsa, makaten jarwanipun.
”Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning Bait-al-makmur, iku omah enggoneng Parameyaningsun, jumeneng ana sirahing Adam, kang ana sajroning sirah iku dimak, iya iku utek, kang ana antraning utek iku manik, sajroning manik iku budi, sajroning budi iku napsu, sajroning napsu iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran, ananging Ingsun Dzat Kang anglimputi ing kahanan jati”.

5. Pambukaning Tata Malige Ing Dalem Bait-al-muharram

Wejangan punika dipun wastani kayektening kahanan Kang Maha Agung. Inggih punika pambukaning tata malige ing dalem Bait-al-muharram, awit dening pamejanganipun pambuka kodrat iraDzating Pangeran kang Maha suci, enggenipun karsa anjenengaken maligening Dzat, minangka Baitullah wonten ing dhadhaning manungsa.

Kasebut ing dalem daliling dados pitedahan kayektening kahanan satunggal-tunggal, anandhakaken kalarating Dzat kang Maha Mulya lenggah boten kenging ewah ginsir saking kahanan jati.

Kasebut ing dalem daliling ngemi ingkang kaping gangsal, inggih ugi sami nukilan saking sarahing Kitab Insan Kamil, amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Maha Suci dhateng Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah, ayat ingkang kaping kalih karaos ing dalem rahsa makaten jarwanipun :
”Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning Bait-al-muharram, iku omah enggoning lelaranganingsun, jumeneng ana ing dhadhaning Adam, kang ana ing sajroning dhadha iku ati, kang ana ing antaraning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi, sajroning budi iku jinem, iya iku angen-angen, sajroning angen-angen iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran, anging Ingsun Dzat kang anglimputi ing kahanan jati”.

6. Pambukaning Tata Malige Ing Dalem Bait-al-mukaddas

Wejangan punika dipun wastani ; kayektening kahanan Kang Maha Suci, inggih punika pambukaning tata malige ing dalem Bait-al-mukaddas, awit dening pamejangipun ambuka kodrat iraDzating Pangeran Kang Maha Suci angenipun karsa anjenengaken maligening Dzat, minangka Baitulah katata wonten ing kontholing manungsa. Punika sajatosipun ugi dados pitedhahan kayektening kahanan satunggal-tunggal, anandhakaken kalarating Dzat Kang Maha Mulya, lenggah boten kenging ewah gingsir saking kahanan jati. Kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang kaping enem, inggih ugi sami nukilan saking sarahing Kitab Insan Kamil. Amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Maha suci dhateng Nabi Muhammad Rasulullah hayat ingkang kaping tiga, karaos ing dalem rahsa makaten jarwanipun :
”Sajatine Ingsun nata malige sajroning Bait-al-mukkadas, iku omah enggoning Pasuceningsun, jumeneng ana ing kontholing Adam, kang ana sajroning konthol iku pringsilan, kang ana antarane pringsilan iku nutfah, iya iku mani sajroning mani iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran angin Ingsun Dzat kang nglimputi ing kahanan jati, jumeneng sajroning nukat gaib, tumurun dadi johar awal, ing kono wahananing alam ahadiyat, alam wahdat, alam wahidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajsam, alam insan kamil, dadining manungsa sampurna yaiku sajtining sipat Ingsun”.

7. Panetep Santosaning Iman

Wejangan punika dipun wastani panetep santosaning iman, abebuka sahadat jati, awit dening pamejangipun amangsit ingkang dados pikekahing pangandel kita, denira angestokaken dhateng kayektining gesang kita pribadi, manawi sampun tetep minangka tajalining Pangeran Kang Maha Suci sajati. Kasebeut ing dalem ijemak riwayating para wiliyullah, nukilan saking kadis makdus, salebeting bab maklumatul uluhiyah. Wiyosipun anyariyosaken kakekating taukid. Ingkang terus dhateng iktikad, wewiridan saking cipto sasmitanipun Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah ingkang kawangsittaken dhateng sayidina Ali, makaten jarwanipun :
”Ingsun anekseni satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun lan anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun”.

Menggah dunungipun makaten :
a. Ingkang dipun wastani Pangeran meniko Dzating gesang kita pribadi, sebab sajatosipun sagung asya sami kukum napi sadaya, tegesipun asya ; sawiji-wiji, tegesipun napi, boten wonten, mila kasebut boten wonten Pangeran isbatipun inggih namung Dzating gesang kita pribadi. Tegesing isbat ; tetep, dados teteping ingkang anyebut kaliyan ingkang sinebut Pangeran punika boten wonten sanesipun, suraos tunggal tanpa wewangenan amung kaot lair batin kemawon.

b. Ingkang dipun wastani Muhammad punika sipating cahya kita, mila dipun basakaken utusan, amargi dados pangeran rahsaning Dzat, kawistara wonten ing netya, kados ingkang kasebut wonten ing dalil salebeting Qur’an makaten jarwanipun :
“Sayekti temen-temen teka ing sira kabeh, utusaning Dzat metu saka ing awakira kang maha mulya, mungguhing utusan iku anembadani barang saciptanira, yen angandel sayekti antuk sih pangapuraning Pangeran”.

Manawi sampun anampeni dalil Qur’an pangandikanipun Pangeran Kang Maha Suci makaten wau, dipun waskitha ing galih. Inggih gesangkita pribadi wahananing nugraha, kahananing kanugrahan. Nugraha punika Dzating Gusti, kanugrahan punika sipating kawula, tunggal tanpa wewangenan dumunung wonten ing badan kita. Sampun uwas sumelang malih, sebab ingkang kasebut ing Kitab Insan Kamil amarah manawi namaning Allah punika inggih namaning Muhammad. Umpami sabet kaliyan warangkanipun. Ing mangke Allah minangka warangka, Muhammad minangka sabet, ing tembe wewangsulan.

Wisiyating guru ingkang amedharaken ngelmi panetep santosaning iman, kaprayogekaken sami anglampahana boten karsa dhahar ulam lembu. Kabar angsal paedah manjing dados putra muridipun Kanjeng Susuhunan ing Kudus, kaidenan ingkang dados saesthining galihipun.

Wonten riwayating guru manawi amedharaken ngelmi panetep santosaning iman, ingatasipun amejang dhateng pawestri, wenang kawewahan makaten jarwanipun.
”Ingsu ankeseni, satuhune ora ana Pangeran anging ingsun, lan anekseni Ingsun, satuhune Muhammad iku utusan Ingsun Fatimah iku umat Ingsun”.
8. Sasahidan

Wejangan punika dipun wastani sasahidan, awit dening pamejanganipun kinen asahida dhateng wahananing sanak kita. Inggih punika ananing dumadi ingkang gumelar wonten ing alam dunya, kadosta, bumi, langit, wulan, lintang, latu, angin, toya, sapanunggalipun sadaya. Sami aneksenana yen kita mangke sampun purun angakeni “ Jumeneng Dzating Gusti “ Kang Maha Suci, dados sipating Allah Kang sajati. Kasebut ing dalem kiyas wewarahing para pandhita, anggenipun amencaraken nukilan saking kadis mahdus, salebeting bab Maklumating Huluhiyah. Wosipun anartani ing panetep santosaning iman, dados panuntuning tokid ingkang ambontos dhateng iktikad. Inggih ugi pepiridan saking cipta sasmitaning Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah ingkang kawangsitaken dhateng Sayidina Ali, makaten jarwanipun ;
”Ingsun anekseni ing Dzatingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran, anging Ingsun, lan anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku rahsaningsun, iya Ingsun kang urip tan kena ing pati, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kang langgeng ora kena gingsir ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana Ora kekurangan ing pangerti, Byar sampurna padang tarawangan, Ora krasa apa-apa Ora ana katon apa-apa, Amung Ingsun kang anglimuti ing alam kabeh kalawan kodratingsun”.

Menggah dunungipun makaten :
Ingkang dipun wastani Pangeran punika Dzating gesang kita pribadi, ingkang dipun wastani Muhammad punika sipating cahya kita pribadi. Manawi ingkang kasebut ing dalem dhikir “ La Illaha Ilullah, Muhammad Rasulullah “ tegesipun boten wonten Pangeran anging Allah, Nabi Muhammad punika utusaning Allah punika afngaling Rasul, dumunung ing badan kita. Rasul punika asmaning Muhammad, dumunung ing rahsa kita. Muhammad tuwin sipating cahya, dumunung ing gesang kita. Sajataning gesang kita punika, Dzating Pangeran Kang Maha Suci. Kayektosanipun kasebat ing dalem daliling Al Qur’an, manawi Pangeran Kang Mahasuci punika kawasa amijilaken gesang saking pejah, wijiling pejah saking gesang, inggih gesang kita pribadi punika. Sayekti awit saking pejah, ing wekasan boten kenging pejah. Dipun basakaken ; kayun pidareni. Tegesipun : gesang ing kaanan keakalih, wonten ing alam sahir kita gesang, wonten ing alam kabir inggih gesang. Sarta boten kasupen ing Dzat kita kang agung, boten ewah gingsir ing sipat kita kang elok, boten kasamaran ing sama kita kang wisesa, boten kekirangan ing afngal kita kang sampurna, dados pepuntoning taukid ingkang ambontos dhateng iktikad. Sampurnaning gesang kita punika boten wonten karaos utawi tanpa katinggal punapa-punapa. Amung waluya sajati lajeng anglimputi ing alam sadaya ; sampun uwas sumelang.

Wasiyating guru ingkang medharaken ngelmi sasahidan, kaprayogekaken sami anglampahana sampun ngantos anyebut Allah, kaisbatna anyebut Pangeran, kadosta : ing bebasan saking karsaning Allah, isbatipun saking karsaning Pangeran. Kabar pakantukipun ingkang sampul kalampahan asring kadhawahan ilham. Dados amewahi teranging pambudi, ananing wasiyating guru ingkang sami kawaleraken sadaya punika manawi kasupen boten dados punapa, sebab sajatosipun ingkang dados awisaning ulah ngelmi kasampurnan punika namung napsu. Manawi saged ambirat hawa napsu, saking aDzat kadunungan manah awas tuwin emut. Manawi tansah awas emut saestu manggih kamulyan ing sangkan paran sasaminipun kados riwayating para ahli ngelmi ingkang kasebut ing ngandhap punika :
a. Taberi suci temen ; Minangka pambirating durgandana ing tembe, tegesipun ; ganda awon.
b. Angengirangi dhahar nginum ; Minangka paluluhaning raga ing tembe.
c. Angawisi sare shawat ; Minangka pangluyutaning jiwa ing tembe.
d. Nyenyuda napsu wuwus ; Minangka panglenyepaning rahsa ing tembe.

Manawi sampun lenyep rahsanipun, kabar dumugining delahan ing tembe lajeng layat dados cahaya gum, ilang tanpa wewayangan ing kaanan kita kang sejati. Punika sarehning kula dereng saged anglampahi piyambak, dados namung anyumanggakaken ing pamanggihing galih kemawon. Bokmanawi kalampahan makaten inggih wallahu alam katarimahipun.

Sawise ganep pamejange, nuli amarah patrape paraboting ngilmu dadi wolung pangkat, kasebut ing ngisor iki :

1. Pamuja.

“Ana pepujaningsun sawiji, Dzate iya Dzatingsung, sifate iya sifatingsun, asmane iya asmaningsun, afngale iya afngalingsun, Ingsun puja ing patemon tunggal sakahananingsun, sampurna kalawan kudratingsun”.

2. Tobat utawa Panalangsa.

“Ingsun analangsa maring Dzatingsun dewe, regeding jisimingsun gorohe ing atiningsun, serenge ing napsuningsun, laline ing uripingsun salawas-lawase ing mengko Ingsun ruwat sampurna ing sadosaningsun kabeh saka ing kudratingsun”.

3. Pangruwat.

“Ingsun angruwat kadangingsun papat kalmia pancer kang dumunung ana ing badaningsun dewe, Mar Marti Kakang Kawah Adi Ari-ari Getih Puser, sakehing kadang ingsun kang ora katon lang kang ora karawalan, utawa kadangingsun kang metu saka marga ina, sarta kadangingsun kang metu bareng sadina kabeh pada sampurnaa nirmala waluya kahanan jati dening kudratingsun”.

4. Saksi ing Dzat Kita, kaya Sasahidan.

“Ingsun anakseni ing Dzatingsun dewe, satuhune ora ana Pangeran, anging Ingsun, lan anakseni Ingsun, satuhune Muhammad iku utusaningsun, iya sajatine kang Allah iku badaningsun, Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku cahyaningsun, iya Ingsun kang urip ora kena ing pati, iya Ingsun kang eling ora kena lali, iya Ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskita ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun Kang Amurba Amisesa Kang Kawasa Wicaksana ora kekurangan ing pangreti, byar sampurna padang terawangan, ora karasa apa-apa, ora ana katon apa-apa, mung Ingsun kang anglimputi ing alam kabeh kalawan kudratingsun”.

5. Anucekake Sakehing Anasir.

“Ingsun anucenaken sakaliring anasiringsun kang abangsa jasmani, suci mulya sampurna anunggal kalawan sakaliring anasiringsun kang abangsa Rochani, nirmala walya ing kahanan jati dening kudratingsun”.

6. Angawinake Badan Karo Nyawa.

“Allah kang kinawin, winalenan dening Rasul, pangulune Muhammad, saksine Malaekat papat, iya iku Insun kang angawin badaningsun, winalenan dening rahsaningun, kaunggahake dening cahyaningsun, sinaksenan dening Malaekatingsun papat, Jabarail, iya iku pangucapingsun, Mikail pangambuningsun, Israfil paningalingsun, Idjrail pamiyarsaningsun, srikawine sampurna saka ing kudratingsun”.

7. Sangkan Paraning Tanazultarki.

“Ingsun mancad saka ing alam Insan Kamil, tumeka ing alam Ajsam, nuli tumeka ing alam Misal, nuli tumeka ing alam Arwah, nuli tumeka ing alam Wachidiyat, nuli tumeka ing alam Wahdat, nuli tumeka maring alam Insan Kamil maneh, sampurna padang tarawangan saka ing kudratingsun”.

8. Pambirat Asaling Cahya.

“Cahya ireng kadadeyaning napsu, Luwamah sumurup maring cahya kang abang, cahya abang kadadeyaning napsu, Amarah sumurup maring cahya kang kuning, cahya kuning kadadeyaning napsu, Sufiyah sumurup maring cahya kang putih, cahya puti kadadeyaning napsu, Mutmainah sumurup maring cahya kang amancawarna, cahya kang amancawarna kadadeyaning Pramana, sumurup marang Dzating cahyaningsun kang awening mancur mancorong gumilang tanpa wewayangan, byar sampurna padang terawangan, ora ana katon apa-apa, kabeh-kabeh pada kalimputan dening Dzatingsun saka ing kudratingsun”.

Sawise mangkono, nuli amarah maneh praboting amatrapake panjenenganing Dzat, dadi sangang pangkat, kasebut ing ngisor iki.

1. Angumpulake Kawula Gusti.

“Ingsun Dzating Gusti Kang Asifat Esa, anglimputi ing kawulaningsun, tunggal dadi sakahanan, sampurna saka ing kudratingsun”.

2. Maha Sucekake Ing Dzat.

“Ingsun Dzat Kang Amaha Suci Kang Sifat Langgeng, kang amurba amisesa kang kawasa, kang sampurna nilmala waluya ing jatiningsun kalawan kudratingsun”.

3. Angrakit Karatoning Dzat.

“Ingsun Dzat Kang Maha Luhur Kang Jumeneng Ratu Agung, kang amurba amisesa kang kawasa, andadekake ing karatoningsun kanga gung kang amaha mulya. Ingsun wengku sampurna sakapraboningsun, sangkep, saisen-isening karatoningsun, pepak sabalaningsun, kabeh ora ana kang kekurangan, byar gumelar dadi saciptaningsun kabeh saka ing kudratingsun”.

4. Angracut Jisim.

“Jisimingsun kang kari ana ing alam dunya, yen wis ana ing jaman karamating maha mulya, waluya kulit daging getih balung sungsum sapanunggalane kabeh, asala saka ing cahya muliha maring cahya, sampurna bali marang ingsun maneh saka ing kudratingsun”.

5. Anarik Sampurnaning Akrab.

“Jaganingsun sapanduwur sapangisor kabeh, kang pada mulih ing jaman karamating alame dewe-dewe, pada suci mulya sampurnaa kaya Ingsun saka ing kudratingsun”.

6. Angukud gumelaring Jagad.

“Ingsun andadekake alam dunya saisen-isene kabeh iki, yen wis tutug ing wewangene, Ingsun kukud mulih mulya sampurnaa dadi sawiji kalawan kahananingsun maneh saka ing kudratingsun”.

7. Ambabar Karaharjaning Turas.

“Turasingsun kang maksih pada kari ana ing alam dunya kabeh pada nemuwa suka bungah sugih singgih aja ana kang kekurangan, rahayu salameta sapanduwure sapangisore saka ing kudratingsun”.

8. Amasang Pangasihan.

“Sakahe titahingsun kabeh, kang pada andulu kang pada karungu pada asih welasa marang Ingsun, saka ing kudratingsun”.

9. Amasang Kamayan.

“Sakeha machlukingsun kabeh, kang ora angendahake maring Sun, pada kaprabawa dening kamayan dening kudratingsun”.

Ing wekasan kang kawejang dijantenana yen panggonaning patrap pratikele sawiji-wiji, kapratelakake ana Babaring Wirid amawa murad maksud kasebut dadi pituduhane dununging ngelmu makrifat kabeh mau iku.

Sawise mangkono, kang amejang maca dunga Istiqfar karo dunga Kabula, sajeroning batin anuwun pangapura marang Kang Amurba Amisesa ing ngurip, supaya aja nganti pleh wewalak anggone amerake rahsaning Dzat iku.

Nuli kang kawejang dijanjeni, Manawa isih urip gurune, ora kena mejang, kang wis kalakon andadekake ora prayoga, dene Manawa kaburu ing perlu, ana akrabe kang lara lara-banget, mangka during ngelmu, iku kena amisik Ananing Dzat bae.

Kajabone saka mangkono, saupama kang kawejang mau during anarima utawa isih kurang padang ing panampane, Manawa arep anggeguru ing liyane maneh ora dadi apa, angger anajaluk idening guru kang amejang ngelmu iku.

Sawise mangkono banjur pada sesalaman, utamane kang kawejang mau yen karsa angabekti marang kang amejang.

Sawise luwar saka pamejangan, ing kono nuli pada angepung mabengan, salamating jiwa raga, mungguh kehing ambengan dadi telung asahan, ing ngisor iki pratikele :
1. Memule angaturi dahar Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah, sega wuduk, lembarang pitik, utawa endog, karupuk, lombok, terong.
2. Memule angaturi dahar para Sahabat Rasul karo para Waliyullah, sego golong, pecel pitik, jangan menir, iwak kebo siji kagoreng.
3. Memule angaturi dahar marang leluhur kang pada amedarake rahsaning ngelmu makrifat apa kang dadi dedaharane nalika isih urip, sarta nganggo kinang, kembang konyoh, kabeh iku pada kadonganan onga Rasul, Majmuk Kabula, Tulak-bilahi wekasan Salamet.

Dene pakolehing amejang iku, yeng amarengi sasi tanggale sapisa ing dina Jum’at, pamejange anuju purnama, anggere or sangar ora na’as, sarta ora taliwangke, Manawa sangaraning sasi anuju dina Jum’at, pamejang ing dina Anggara Kasih (seasa Kliwon), ora angetung purnama.

Mungguh pakolehing enggon pamejang iku, bumi sucikang becik arane, sarta ora kauban wangon, utamane yen ana ing gunung, ing ara-ara, ing banyu, angger becik jenege sarta sepen, prayoga kanggo panggonan amejang, kaya ta : ing gunung Agung,ara-ara ing Purwadadi, ing Ngadipala, bangawan ing Ngobol, luwih utama pisan Manawa amejang ana ing Sitinggil, utawa palataran ing Masjid Gede, sapepadane kang sakira pakoleh ing jeneng karo panggonane.

———————————————————————————————
Kapethik saking buku wirid hidayat jati